Maqdir Ismail, kuasa hukum Galumbang Menak Simanjuntak beri keterangan. (Foto: Jurnas/Ira).
Jakarta, Jurnas.com- Korupsi merupakan salah satu masalah besar yang menghambat pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia. Pemerintah dan lembaga-lembaga penegak hukum pun telah memprioritaskan pemberantasan korupsi melalui proses hukum pidana.
Namun, penerapan hukum pidana tersebut tetap harus dilaksanakan secara hat-hati dan bijaksana, terutama terhadap proyek-proyek pemerintah yang diduga bermasalah tapi pekerjaanya masih belum selesai.
Maqdir Ismail, kuasa hukum Galumbang Menak Simanjuntak (mantan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Tbk) berpendapat, sudah saatnya Indonesia mulai mengkaji ulang terhadap cara pemberantasan korupsi, khususnya terhadap pekerjaan atau proyek pemerintah yang sedang diselesaikan atau masih belum selesai.
Menurut dia, jika ada dugaan pelanggaran atau penyimpangan dalam proses pelaksanaan proyek-proyek pemerintah, maka penanganan hukumnya tidak mengedepankan proses hukum pidana dengan ancaman hukuman penjara, tetapi diselesaikan terlebih dahulu dengan hukum administrasi dan perdata.
Usman Kansong Mundur dari Dirjen IKP
“Hal ini mengingat hukum pidana merupakan ultimum remedium, yaitu hukum yang digunakan sebagai upaya terakhir jika tidak ada cara lain untuk menyelesaikan suatu perkara,” kata Maqdir di kawasan SCBD, Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Ia menambahkan, dengan menggunakan hukum pidana sebagai alat pemberantasan korupsi, maka bisa berimplikasi negatif terhadap para pelaku usaha dan perekonomian nasional. Selain itu, hukum pidana juga berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) jika tidak diterapkan secara adil dan proporsional.
Maqdir menyampaikan pendapat tersebut setelah melihat sejumlah fakta yang muncul di persidangan kasus dugaan korupsi pembangunan BTS 4G Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Dan Informasi Kementerian Komunikasi Dan Informatikaoleh (BAKTI Kominfo).
Kejaksaan Agung telah menetapkan 13 tersangka dalam kasus dugaan korupsi, 6 di antaranya sudah menjadi terdakwa dan disidangkan, termasuk mantan Menteri Kominfo Johnny G Plate, eks Direktur Utama BAKTI Anang Achmad Latif dan juga Galumbang.
Kejaksaan mendakwa dengan menggunakan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyebutkan ada kerugian negara Rp8,03 triliun. BPKP dan Kejaksaan mengacu kepada jumlah menara yang belum selesai dibangun sebanyak 3.242 BTS hingga 31 Maret 2022 yang kemudian dianggap mangkrak.
Padahal, dari fakta-fakta persidangan terungkap bahwa sebanyak 3.242 BTS yang dianggap mangkrak sebagian telah selesai dan hanya menunggu proses serah terima secara administratif, sebagian sudah dalam proses pembangunan, dan yang belum dibangun tetap bisa dinilai asetnya. Penentuan cut-off date 31 Maret 2022 juga tidak sesuai dengan fakta hukum karena pekerjaan penyelesaian pembangunan BTS 4G terus berlanjut dan sampai Oktober 2023 telah selesai hampir 100%.
“Pandangan bahwa proyek BTS 4G mangkrak adalah pandangan yang keliru dan menyesatkan karena tidak berdasarkan fakta. Begitu juga dengan audit BPKP yang membatasi perhitungan sampai dengan 31 Maret 2022 tanpa memperhitungkan peristiwa yang terjadi setelah periode tersebut, termasuk adanya perpanjangan kontrak dan pengembalian uang sebesar Rp1,7 triliun oleh konsorsium pelaksana. Jadi, keliru kalau BPKP melakukan perhitungan secara total loss karena proyek masih berajalan dan ada pengembalian uang ke kas negara,” papar Maqdir.
Maqdir Ismail menyarankan agar pemerintah dan lembaga penegak hukum lebih berfokus pada upaya pencegahan dan penindakan korupsi dengan menggunakan hukum adminstrasi dan perdata. Tujuannya agar proyek-proyek pemerintah yang diduga bermasalah tetap dapat diselesaikan dengan cepat dan efektif tanpa harus menunggu proses hukum pidana yang panjang dan rumit.
“Dengan cara ini, hukum pidana di Indonesia akan terlihat masih bisa melindungi HAM dan tidak akan terlihat seperti “wajah garang” dengan ancaman penjara,” ujarnya.
Chairul Huda, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) juga menilai kerugian negara belum bisa disimpulkan terhadap sebuah pekerjaan yang belum selesai. Alasannya, dalam perspektif hukum pidana, sebuah kerugian merupakan sebuah akibat yang sifatnya nyata dan pasti dan tidak bisa hanya berupa potensi kerugian.
“Ilustrasinya seperti belum ada orang mati bagaimana bisa disimpulkan ada (tindak pidana) pembunuhan?” katanya saat menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi BTS 4G baru-baru ini.
Chairul menambahkan, mengingat belum ada kerugian negara yang nyata dan pasti, maka perkara BTS 4G belum bisa masuk domain hukum pidana. “Pendapat saya hal seperti itu ranahnya hukum administrasi,” tandasnya.
KEYWORD :
Maqdir Ismail Pemberantasan Korupsi Galumbang Menak Simanjuntak BTS 4G Kominfo